Pendahuluan
Perjalanan hidup nabi Isma’il ‘alaihissalam adalah
sebuah kisah monumental tentang kesiapsiagaan seorang pejuang Muslim menerima
perintah dengan tulus dan tanpa penolakan. Syari’at difahami bukan sekedar
sebuah koleksi keilmuan ataupun rekreasi berfikir semata, melainkan sebuah
aturan yang harus dijalankan.
Demikianlah menurut Sayyid Quthb bahwa dalam setiap periode sejarah manusia, seruan
kepada syari’at Allah memiliki satu sifat kesamaan yaitu deklarasi kemerdekaan untuk menghamba
secara totalitas hanya kepada Allah. Hal ini dengan lugas ia kemukakan,
“إسلام العباد
لرب العباد، وإخراجهم من عبادة العباد إلى عبادة الله وحده، بإخراجهم من سلطان
العباد في حاكميتهم وشرائعهم وقيمهم وتقاليدهم، إلى سلطان الله وحاكميته وشريعته
وحده في كل شأن من شؤون الحياة” [1]
“Ketundukan
seorang hamba kepada tuhannya, membebaskan diri dari penghambaan atas sesama
manusia menuju penghambaan kepada Allah semata. Mengeluarkan mereka dari
cengkraman ketuhanan dan hukum-hukum buatan manusia, mengeluarkan mereka dari
kungkungan sistem-sistem nilai dan tradisi-tradisi buatan manusia kepada
kekuasaan Allah, otoritas dan syari’at-Nya semata dalam segala ruang lingkup
kehidupan.”